DENPASAR, POS BALI – Kasus stunting antara satu kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lainnya di Bali masih mengalami kesenjangan atau disparitas. Kesenjangan tersebut terjadi karena berbagai faktor. Hal tersebut terungkap dalam Rembug Stunting ‘Bali Menuju Bebas Stunting, Pasti Bisa’ di Denpasar, Rabu (18/5)
Ketua Unit Center for Public Health Innovation Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. dr. Pande Putu Januraga mengatakan, faktor kesenjangan prevalensi stunting dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni kasus sensitif dan spesifik. “Faktor sensitif itu misalnya tingkat imunisasi, pemberian asi eksklusif, dan askes fasilitas kesehatan, sedangkan faktor sensitif misalnya akses air minum dan jamban,” katanya.
Menurutnya, prevalensi stunting di Bali saat ini 10,9 persen merupakan angka rata-rata, dan tidak merata di setiap daerah. Dari hasil kajiannya, tingkat kepercayaan terhadap rata-rata tersebut berkisar antara 5-30 persen, yang artinya ada daerah yang persentasenya memang rendah dan ada juga yang jauh lebih tinggi.
“Angka 10 persen itu adalah rata-rata, nah kalau kita mau target secara spesifik, seharusnya dipetakan daerah yang berisiko tinggi, berisiko rendah. Pemerintah harusnya fokus ke daerah yang risiko rendah jadi ada daerah prioritas. Meski secara keseluruhan program yang bersifat spesifik harus ada di semua daerah, tapi fokusnya, ada di daerah-daerah tadi,” katanya.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali, I Nyoman Gede Anom mengatakan saat ini memang ada empat kabupaten yang angka prevalensi stuntingnya di atas capaian angka provinsi sebesar 10,9 persen. Keempat kabupaten tersebut adalah Karangasem, Klungkung, Bangli, dan Jembrana.
“Itu akan kami genjot untuk program stuntingnya. Nanti akan kita monitoring dan evaluasi lebih intens. Seperti contoh di Gianyar dan Badung yang sudah melibatkan desa adat, ini bisa kita jadikan percontohan,” ucapnya.
Dia menegaskan, Pemerintah Provinsi Bali akan mendukung program pengentasan stunting dengan komitmen penuh. Upaya kolaborasi dari berbagai unsur pun sudah disiapkan untuk mengupayakan Bali bebas stunting.
“Kita dukung penuh, misalnya sudah ada program dari pusat untuk makanan tambahan untuk ibu hamil. Tapi, yang jelas kita terus lakukan monev ke berbagai puskesmas. Kita hidupkan lagi Posyandu, karena sempat vakum kemarin dan sekarang sudah aktif kembali. Di sanalah peran kita, masyarakat untuk memberdayakan penanggulangan stunting,” kata dia.
Sementara itu, Kepala Perwakilan BKKBN Bali, dr. Ni Luh Gede Sukardiasih mengaku optimis. Pihaknya yakin dapat menekan angka stunting Provinsi Bali menjadi angka 6,5 persen sesuai dengan target di tahun 2024.
“Kalau bisa sampai bebas atau 2,5 persen. Kami akan optimis. Apa kendala yang kita, siapa yang berperan penting, kami akan dikerjasamakan. Kami juga akan libatkan adat dalam hal ini,” ujarnya.
Dia menambahkan, selama ini persoalan literasi stunting memang masih menjadi kendala utama dalam program pengentasan stunting. Oleh karena itulah, lanjut dia, perlu edukasi yang menjadi salah satu jalan menuju Bali bebas stunting.
“Tantangannya di lapangan adalah adalah pengetahuan bagaimana pentingnya mengentaskan stunting itu. Selama ini stunting dianggap tidak relevan dengan pelibatan SDM, padahal dia ancaman sekali. Itu yang nanti kita juga terus edukasi,” pungkasnya. alt