DENPASAR, POS BALI – Kerjasama menghentikan perdagangan daging anjing antara Pemerintah Provinsi Bali dengan Animals Australia telah berlangsung sejak tahun 2017. Sinergi itu diawali dengan adanya keluhan seorang wisatawan yang berlibur di Bali. Dia melaporkan tidak sengaja mengkonsumsi daging anjing.
Hal tersebut disampaikan Kepala Dokter Hewan Lapangan dan Peneliti, drh Maria Maliga Vernandes Sasadara, M.Si., di Denpasar, Rabu (15/6). Menurutnya, anjing bukan dikatagorikan pangan, sesuai dengan UU No 18 tahun 2012 tentang Pangan. Jelas dia, pangan merupakan produk yang bersumber dari pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, dan air.
Selain itu, lanjut dia, dari hasil kerja yang dilakukan Bali Animals Defender bekerjasama dengan Animals International, metode penanganan daging anjing sangat tidak humanis. Mulai dari penangkapan anjing, dibunuh dengan cara dipukul, dibiarkan terikat selama berhari-hari, digantung hidup-hidup kemudian dikuliti, dibakar, hingga hal tak lazim lainnya. “Itu sangat tidak humanis, dan ini tidak diketahui oleh pedagang. Bukan pangan, setop perdagangan daging anjing,” kata gadis yang akrab disapa drh Sasa ini.
Menurutnya, perdagangan daging anjing juga berpotensi menjadi penyebar rabies. Karena terjadi perdagangan lintas wilayah. “Sejak 2008 Bali menjadi wilayah endemi rabies, sehingga perdagangan daging anjing ini beresiko karena terjadi transportasi antar wilayah. Belum lagi saat anjing itu ketika akan dibunuh melakukan perlawanan dan mengikuti naluri ilmiah menggigit orang yang membunuhnya,” bebernya.
Menyikapi hal itu, tutur dia, sejak 2017 Animal Australia dengan Pemprov Bali melakukan diskusi terkait kesejahteraan hewan dan manusia sehingga di tahun 2018 rekomendasi keluarnya instruksi gubernur.
Kemudian di tahun April 2018, bersama Disatan Badung juga melakukan pertemuan dan membahas dampak daging anjing bagi pariwisata dan budaya Bali. “Hasilnya dua desa adat yakni Desa Adat Kerobokan dan Kapal mengeluarkan pararem pelarangan perdagangan daging anjing,” tuturnya.
Lanjut itu, jelas drh Sasa, Oktober 2018 melakukan FGD tentang resiko dan perlunya penegakan hingga sinkronisasi terhadap hewan. Dan draf itu telah divalidasi Universitas Udayana. “Tahun 2019, keluar Instruksi Gubernur Bali larangan daging anjing. Di mana tim pengawasan juga di dalamnya termasuk Satpol PP dalam melakukan pengawasan, penertiban, dan pembinaan,” lanjutnya.
Dia menambahkan, dari hasil penelitian, di Bali terdapat 84 pedagang daging anjing yang tersebar di beberapa kabupaten/kota. Dari jumlah itu, 60 pedagang bersedia diwawancarai. Menurut dia, hasil wawancara tersebut menemukan hal yang tidak disangka. Masyarakat Bali dan juga non Bali, termasuk yang beragama Kristen dan Hindu terlibat dalam perdagangan daging anjing.
Dari jumlah 60 pedagang yang jumlahnya 55 persen tidak lulus SMA, jelas dia, 80 persen meyakini mengkonsumsi daging anjing memberikan dampak menyembuhan penyakit. “Itu hanya pendapat mereka belum ada penelitian yang menyebutkan bahwa daging anjing itu menyembuhkan,” jelasnya.
Dikatakan, 95 pedagang tersebut juga mengetahui adanya rabies, dan 63 persen mengetahui resiko rabies. “Dari jumlah 84 pedagang daging anjing ini, 80 sudah tutup sejak dikeluarkan surat edaran tahun 2017 dan instruksi gubernur di tahun 2019,” pungkasnya. alt