DENPASAR, POS BALI – Barangkali karena gelombang media sosial yang liberal, kita selalu ribut soal remeh temeh. Kalau rakyat kecil ribut dan cengeng karena tumben punya handphone (HP) dan pengen main medsos, mungkin dapat dipahami. Ini elite Indonesia, dari tokoh agama, pengamat kelas atas sampai politikus ribut dan sibuk dengan yang tidak pantas diributkan.
Mereka cari panggung amatiran buat dirinya. Segala hal dikomentari, sehingga polarisasi rakyat semakin lebar, bukan karena soal prinsip. Sekali lagi hanya soal cekremete alias remeh temeh.
Negara lain, dengan senang hati dan bangga bahwa berbagai jenis makanannya laris di Indonesia. Hakikatnya kita dijajah melalui aktivitas ekonomi. Mereka menjajah lewat berbagai jenis makanan Barat, Timur bahkan juga makanan Arab.
Di mana mana pun sekarang, sampai Aceh yang menerapkan sistem “khusus”, ada makanan Amerika dan Jepang. Bahkan juga Korea, Thailand, Singapura apalagi menu Arab.
Anak-anak Indonesia doyan dengan makanan luar negeri itu. Berbagai makanan siap saji kini mudah diperoleh di berbagai sudut kota. Tidak ada restoran asing yang sepi di tanah air. Dari anak sampai yang tua senang nongkrong di restoran siap saji bikinan asing, menikmati “jajahan” makanan tersebut.
Konon, menurut sejumlah ahli kesehatan, makanan siap saji yang uenak itu tidak sehat. Tetapi tetap laris manis dikonsumsi rakyat 062 alias Indonesia.
Ehhh, ini ada orang jual rendang babi saja di Jakarta, (itu pun sudah dua tahun lalu dan kini sudah tutup) — malah diributkan siang malam di media sosial. Dituduh melanggar etika lah, tidak tahu kearifan lokal lah, meremehkan suku lah, tidak halal lah dan seterusnya. Ributnya setengah mati. Malah di medsos saling caci-maki soal bumbu makanan milik kita semua.
Hal ini kejadian tahun 2020, di sebuah rumah makan di sudut Jakarta. Sudah tutup lagi. Namun diviralkan seorang tokoh agama, yang katanya meremehkan umat tertentu. Pancingan itu disambar banyak pihak, termasuk para politikus bermental tikus di tanah air.
Maklum masyarakat kita banyak yang belum cerdas menggunakan media sosial. Kondisi itu digoreng-goreng sampai kering kerontang, sehingga menimbulkan pro-kontra di masyarakat.
Bukan saja pilkada dan pemilihan gubernur dikaitkan dengan agama. Kini bumbu makanan pun dikaitkan dengan agama. Malah ada tokoh agama sendiri heran, sejak kapan bumbu makanan punya agama?
Logikanya bumbu makanan apa pun di Indonesia yang bercorak ragam begitu banyak, boleh dinikmati siapa pun di dunia. Bumbu Bali yang disenangi masyarakat di mana-mana, bahkan juga turis asing — bebas dipakai di Restoran Amerika atau Jepang, juga Eropah. Tidak ada yang keberatan!
Jenis babi guling juga banyak di dunia. Hanya namanya lain. Ada yang memberi nama babi panggang, babi samsam dan sebagainya. Silakan…..! Begitu juga rawon sapi, rawon babi, rawon ayam. Bakso makanan rakyat kita juga banyak yang pakai sapi, ayam dan babi.
Soal boleh tidak dimakan, urusan masing- masing. Soal senang atau nikmat itu juga tergantung setiap orang. Ada yang tidak makan sesuatu karena dilarang agamanya, atau karena alergi dan seterusnya. Politisi seharusnya mengurus rakyat supaya hidupnya lebih baik.
Tetapi kini mereka mengurus makanan mana yang boleh dan tidak boleh dimakan. Tokoh agama seharusnya membina umatnya supaya hidup rukun sesama umat yang hidup di bumi ini. Eh ini, malah mengurus dan memprovokasi soal bumbu makanan, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Aneh bin sungguh prihatin bukan?
Oleh: Made Nariana