DENPASAR, POS BALI – Berbagai upaya terus dilakukan pemerintah untuk mewujudkan Pulau Bali ini bebas dari rabies. Namun, adanya pandemi Covid-19, sejak tahun lalu tepatnya di tahun 2021 kasus gigitan anjing gila ini malah meningkat.
Hal itu disebabkan karena di masa pandemi, terjadi pembatasan kegiatan masyarakat, sehingga pelaksanaan vaksinasi di lapangan menurun drastis dibandingkan dengan vaksinasi tahun 2020.
Selain itu, juga dipicu adanya rasionalisasi anggaran operasional vaksinasi, sehingga realisasi vaksinasi rabies hanya tercapai sekitar 30% dari perkiraan populasi anjing.
Seharusnya, cakupan persyaratan minimun vaksinasi rabies mencapai 80% untuk memperoleh kekebalan individu dan kekebalan kelompok pada anjing.
Menyikapi hal itu, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (Distan) Pemerintah Provinsi Bali membentuk Tim Siaga Rabies (Tisira) Provinsi Bali.
“Bali pada awalnya adalah daerah yang bebas rabies, namun pada November 2008 terjadi kasus rabies pertama kalinya di ujung kaki Pulau Bali. Setahun kemudian rabies sudah menyebar ke seluruh Bali,” tutur Kepala Distan Provinsi Bali, Wayan Sunada di Denpasar, Selasa (20/9).
Menurutnya, ada beberapa hal yang menyebabkan kegagalan dalam pembrantasan penyakit rabies. Diantaranya belum optimalnya penegakan Perda No 15 tahun 2009 tentang Penanggulangan Rabies, belum adanya data populasi anjing yang valid, hingga adanya kebiasaan masyarakat memelihara anjing secara diliarkan.
“Rabies juga dipicu adanya kebiasaan oknum masyarakat yang membuang anak anjing terutama yang betina di tempat tempat umum seperti pasar, tempat pembuangan sampah, kuburan bahkan di jalanan. Selain itu, juga ditambah belum optimalnya peran serta masyarakat dalam pengendalian rabies,” imbuhnya.
Dikatakan, peran serta masyarakat sangat diharapkan. Karena tanpa dukungan, maka segala upaya yang dilakukan tidak akan berhasil. Dengan pembentukan Tim Siaga Rabies, lanjut dia, menjadi salah satu upaya untuk dapat mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam pengendalian rabies.
Dengan terbentuknya Tisira yang beranggotakan tokoh masyarakat, tokoh adat, Babinsa, Bhabinkamtibmas, Linmas, Yowana, dan tenaga Kesehatan di Desa, pihaknya berharap dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya rabies yang merupakan penyakit zoonosis yang belum ada obatnya dan dapat menyebabkan kematian.
Kemudian, imbuh dia, dilanjutkan dengan penatalaksanaan kasus gigitan yang baik dengan konsep one health, sehingga baik manusia maupun HPR ditangani benar.
“Adanya data populasi hewan pembawa rabies (HPR) di masing-masing desa, mala dalam pelaksanaan vaksinasi dapat mencapai cakupan vaksinasi yang cukup untuk membentuk heard immunity,” lanjutnya.
Pihaknya juga berharap dapat terbentuknya peraturan desa atau perarem di desa adat yang mengatur masyarakat dalam pemeliharaan HPR.
“Saya juga berharap dana desa dapat dimanfaatkannya untuk mendukung pelaksanaan penanggulangan rabies yang merupakan salah satu penyakit berbahaya sehingga Kesehatan masyarakat desa terjamin,” harapnya.
Sunada juga mengungkapkan, Tisira sudah terbentuk di Desa Mayong, Desa Menanga, dan Tisira Desa Batu Agung. “Dari ketiga Desa ini kami harapkan dapat diketoktularkan ke desa-desa sekitarnya, sehingga ke depan seluruh desa di Bali dapat membentuk Tisira,” pungkasnya. alt