‘Arthanegara dan Seni’, Sebuah Kenangan yang Tak Bisa Lepas

oleh -90 Dilihat
Sastrawan Arthanegara saat menyerahkan buku 'Arthanegara dan Seni' kepada Prof Suarta.

DENPASAR, POS BALI – Suaranya masih terdengar lantang di usia senja. Namun saat mengenang sang istri, tiba-tiba saja tersendat sedu. Sastrawan yang juga seorang tokoh pendidikan di Bali ini, yakni I Gusti Bagus Arthanegara tak bisa menyembunyikan kesedihannya, saat mengenang almarhum istri tercintanya, Meilly Yumaningsih yang lebih dulu pergi menghadap Sang Pencipta.

Suasana mengharukan itu tergambar jelas saat Rektor Universitas PGRI Mahadewa Indonesia (UPMI), Prof. Dr. Drs. I Made Suarta, SH., M.Hum., meluncurkan buku ‘Arthanegara dan Seni’ karya dari Ketua Yayasan IKIP PGRI Bali, Drs. I Gusti Bagus Arthanegara, SH., MH., M.Pd., ini, di Paseban I Gusti Bagus Oka, Kampus UPMI di Denpasar, Senin (5/6) pagi.

“Saya sadar banyak kekurangan dalam buku yang saya buat ini, karena waktu yang cukup singkat dalam penulisannya, untuk mengejar tanggal 18 Mei kemarin yang bertepatan dengan dua tahun kepergian istri saya,” tutur Arthanegara yang terdengar sedu sedih.

Pria kelahiran Singaraja, 21 Januari 1944 ini mendaku tidak ingat betul berapa karya yang sudah dilahirkan. Baik itu karya ilmiah, novel, puisi, hingga buku literature yang kerap dijadikan rujukan, hingga mengantarkan seseorang meraih akademik tertinggi sebagai guru besar.

“Buku ini saya buat sebagai sebuah kenangan pada saat bergelut di dunia seni. Ternyata, di tengah tengah kesibukan saya bergelut dunia politik, pendidikan, olahraga hingga pengabdian kepada masyarakat, dunia seni tidak bisa saya lepaskan begitu saja,” ungkap Arthanegara didampingi putrinya, I Gusti Ayu Mas Sri Apsari.

Sementara itu, Prof Suarta menyampaikan kekagumannya terhadap sosok Arthanegara. Di usia 79 tahun, masih aktif melahirkan buku. Bahkan, buku berjudul ‘Dunia Kampus dan yang Lain’ dicetak hingga dua kali.

“Saya sangat mengapresiasi beliau, karena membuat buku itu tidak mudah seperti layaknya membalikkan telapak tangan. Perlu proses, fokus, dan konsentrasi tinggi. Karena buku itu mewakili perasaan, apalagi untuk almarhum istri tercintanya,” ujarnya.

Prof Suarta juga tak menampik, banyak belajar dari Arthanegara tentang tulis menulis. Menurutnya, setiap tulisan yang dibuat ada nuansa sastrawan. Terkait seni peran, Prof Suarta mengungkapkan bahwa itu dilakoni Arthanegara jauh sebelum dirinya kenal dekat.

Dikatakan, menulis buku memiliki manfaat yang luar biasa. Mulai dari melatih otak, pikiran, dan mengungkap isi hati. Apalagi menulis puisi, itu penuh dengan diksi dan konotasi. Namun, diusia yang ke 79 tahun, Arthanegara masih oke melakoni semua itu.

“Kemarin di tahun 2022 beliau melahirkan buku puisi ‘Lorong Cinta’. Melahirkan buku itu juga untuk ketenangan, plong, tenang, membangun kepercayaan diri, skill, dan mungkin mengurangi depresi, stress, menumbuhkan rasa empati, hingga meningkatkan kecerdasan. Salah satu cara untuk menepis kesepian,” bebernya.

Prof Suharta berharap, Arthanegara yang masih aktif menulis buku ini menjadi suri tauladan bagi para dosen yang ada di UPMI. Karena setiap buku yang dihasilkan akan menjadi sejarah, tidak akan tertelan waktu, dan menjadi catatan sepanjang peradaban manusia. “Buku merupakan kekayaan intelektual. Saya harap para dosen yang melakukan penelitian juga melahirkan buku,” harapnya. alt

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *