Oleh Made Nariana
FRAKSI Partai Golkar di DPRD Bali, dalam pemandangan umumnya di Sidang Paripurna DPRD Bali Rabu (14/6) lalu, memberikan sejumlah masukan kepada Gubernur Bali. Istilah politiknya mengritik sejumlah kebijakan Pemprov. Bali dalam melaksanakan tugas, di bawah komando Gubernur Wayan Koster.
Namanya anggota DPRD, kalau tidak bersuara tentu salah. Salah satu tugasnya adalah mengkritisi eksekutif dalam berbagai kebijakan. Apalagi partai kecil yang ingin mencari massa menjelang pemilu 2024. Hal itu pasti ditonjolkan dengan harapan dapat simpati masyarakat.
Saya mengatamati ada sejumlah hal yang disampaikan. Antara lain, soal bantuan ke desa adat, jalan Tol Gilimanuk Mengwi, pensertifikatan tanah buat masyarakat. Selebihnya merupakan usulan supaya Pemprov Bali menambah modal di BPD, sehingga mayoritas. Juga masalah gini ratio, soal pertumbuhan ekonomi masih di bawah nasional dan tingkat inflasi.
Bali merupakan daerah paling terpuruk akibat dampak covid-19. Kalau sekarang petumbuhan ekonomi sudah plus, di mana sebelumnya minus sampai 9 persen, seharusnya kita berbangga. Begitu juga soal inflasi. Syukuri, kini Bali mulai bangkit!
Soal pembangunan jalan Tol, semua rakyat termasuk Gubernur pasti ingin cepat selesai. Mungkin banyak masalah di lapangan, semua harus memahami kondisi tersebut.
Sejumlah kritik dan masukan Fraksi Golkar di DPRD Bali, patut dihargai. Namun sebaliknya Partai Golkar juga harus menghargai apa yang dicapai selama lima tahun pemerintahan Wayan Koster/Cok Ace.
Banyak kalangan dan tataran bawah menghargai hasil pembangunan dalam pemerintahan saat ini. Golkar harus juga memberikan apresiasi seperti apa yang dihargai rakyat bawah. Misalnya pembangunan pelabuhan segitiga Sanur-Nusa Penida-Pulau Ceningan, pembenahan Kawasan suci Pura Besakih. Juga pembangunan shortcut Mengwi-Singaraja, pemnbangunan Tower Turyapada di Pegayaman Buleleng. Selain itu, perhatian serius kepada Desa Adat, penggunaan busana Bali bagi masyarakat, usaha membantu UMKM dan Koperasi. Banyak, saya tidak rinci terlalu jauh.
Gubernur sekarang sukses membuat sejumlah Perda/Pergub bersama DPRD – yang umumnya mengatur tata-titi kehidupan masyarakat Bali menuju Bali Era Baru. Bahkan dunia digital pun mendapat perhatian khusus, dalam zaman globalisasi ini. Termasuk yang membanggakan rakyat Bali — DPR-RI mensahkan UU Provinsi Bali. Salah satu yang penting, Bali nanti dapat memungut distribusi dari turis yang masuk Bali.
Satu hal yang saya kurang setuju dengan usulan (kritik) Fraksi Golkar itu adalah bantuan kepada Desa Adat. Mereka mengusulkan, bantuan itu disesuaikan dengan banjar yang dimiliki Desa Adat. Banjar yang banyak, bantuannya lebih banyak sementara desa adat kecil bantuan lebih kecil juga.
Banyak desa adat di Bali kecil. Satu banjar malahan menjadi satu desa adat. Tetapi tanggungjawab sosial- keagamaannya sama dengan desa adat besar, karena memiliki khayangan tiga (Pura Desa, Puseh dan Dalem). Bahkan juga ada Pura Prajapati dan Pura Melanting. Beban mereka cukup berat dalam melaksanakan adat, budaya dan agama.
Karena tanggungjawab mereka juga besar dan berat, wajar mereka dapat bantuan sama dengan desa adat yang lebih besar. Malahan saya melihat, desa adat besar lebih ringan bebannya dalam melaksanakan upacara di khayangan tiga, sebab dilakukan bergiliran oleh tiap banjar yang juga sangat besar (banyak penduduknya).
Janganlah kita melihat besar-kecilnya sebuah desa adat. Namun bagaimana tanggungjawabnya terhadap keberlangsungan adat, budaya dan agama sebagai benteng utama kita di Bali.
Rupanya anggota DPRD Fraksi Golkar perlu banyak jalan-jalan ke lapangan dan ke desa – desa yang kecil di desa dan pegunungan!. Ekonomi mereka juga banyak yang di bawah standar, tetapi tetap semangat ngayah demi adat, budaya dan agama. (*)